watch sexy videos at nza-vids!

ABG Club Gallery
Update Video 3GP & MP4 XXX

A Taste of Honey : The Party Must Over

Beberapa hari setelah pulang dari Pangandaran, setelah jam makan malam aku dipanggil Bapak kostku.
Kupikir tumben malam-malam begini Bapak memanggilku. Sudah beberapa malam aku memang tidak ke rumah induk, JJM ke Bogor cari suasana yang baru.
Biasanya hampir tiap malam, meskipun sebentar aku menyempatkan numpang nonton berita di TV agar tahu kondisi terkini.

"Duduk, To!" katanya datar.

Suasana kurasakan agak asing, tidak seperti biasanya. Biasanya tanpa disuruHPun aku sudah duduk, bahkan kadang tiduran di lantai. Akupun duduk di depannya. Ibu kosku duduk agak jauh dari tempat kami.

"Saya mau tanya, jawab dengan jujur!" katanya lembut tapi tegas. Aku diam saja, tapi debaran jantung mulai meningkat.
"Langsung saja. Saya mulai denger bisik-bisik, kalau kamu belakangan ini sering pergi dengan Ibu Heni?" Aku tercekat, tidak bisa mengeluarkan suara apapun.
"Eee.. Eehh..," aku tergagap.

Pantas saja kemarin waktu aku jalan di gang, ada tetangga yang melihatku dan memberikan isyarat pada teman bicaranya. Aku sebenarnya bukan orang yang sensitif, namun kata-kata Bapak kosku mengingatkanku.

"Tadinya saya senang kamu bisa membantu mengajari Eka. Tapi tidak kukira kalau kamu kemudian memanfaatkan kesempatan ini. Sayang sekali kalau kuliahmu sampai terganggu, lagian Ibu Heni kan sudah berkeluarga. Kenapa sih kamu tidak cari yang masih single saja?"

Aku hanya diam dan semakin menundukkan kepalaku. Setelah Bapak kosku berbicara panjang lebar menasehatiku, akhirnya dia berkata.

"Saya anggap kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Ya sudah, mulai sekarang jauhi dia. Saya tidak melarang kamu mengajari Eka, tapi jangan bikin affair dengan ibunya lagi. Tentu kamu pernah dengar gosip tentang hubungannya dengan seorang pejabat. Namun demikian semuanya terpulang kepadamu, apapun yang kau putuskan. Saya memberi nasehat bukan karena saya pandai, namun lebih karena saya sudah lebih dahulu lahir dan lebih dahulu menikmati masa muda!"

Aku kembali ke kamar dengan kepala berdenyut-denyut. Tapi kupikir benar juga. Dalam hal ini memang aku yang salah. Apapun alasannya. Sampai malam aku masih memikirkan ucapan Bapak kosku dan berpikir tentang hubungan gelapku dengan Hanny ke depannya.

Esoknya aku menyempatkan diri bertemu dengan Hanny dan kami janjian di sebuah kafe di Bogor. Aku berbicara panjang lebar mengulangi apa yang sudah kudengar tadi malam. Mukanya terlihat keruh, matanya mulai sembab dan berair.

"Aku tahu bahwa hubungan kita ini memang tidak benar dilihat dari sisi manapun. Namun aku juga tidak dapat menahan dorongan dari hatiku untuk selalu bertemu dan berbagi kenikmatan denganmu. Kalau harus berpisah begitu saja, untuk saat ini aku tidak sanggup. Lebih baik kita kurangi frekuensi pertemuan dan lebih berhati-hati memilih waktu dan tempat pertemuan," katanya sambil terisak. Aku hanya diam dan menggenggam jarinya.

Akhirnya kami sepakat untuk mengurangi frekuensi pertemuan dan lama waktu pertemuan. Sejak itu kami bertemu dua atau tiga minggu sekali dan itupun tidak dalam waktu yang lama. Selesai menumpahkan gairah, maka kamipun segera pulang secara terpisah. Namun kadang dia masih meminta kenikmatan ekstra sekali lagi dan kuberikan dengan Quicky.. Quicky. Perlahan-lahan bisik-bisik tentangku pun menghilang.

Akhirnya setelah setahun setengah tinggal di kosku tersebut akupun dinyatakan lulus dan sebulan lagi akan ada wisuda. Ketika bertemu maka kuberitahukan kepada Hanny tentang kelulusanku dan iapun mengucapkan selamat, "Selamat ya, sarjanaku. Nanti aku akan memberikan hadiah yang khusus buatmu".

Menjelang wisuda akupun sudah melamar kerja di Jakarta dan diterima sebagai staf pembukuan di sebuah perusahaan yang berkantor di sekitar Harmoni. Namun aku minta agar dapat mulai bekerja setelah wisuda saja. Tiga hari setelah wisuda Hanny memintaku untuk bertemu.

"Aku sebenarnya tidak mengharapkan kita berpisah. Namun aku juga sadar bahwa jalan hidupmu tentu tidak bisa aku yang mengaturnya. Aku kali ini ingin bercinta denganmu, mungkin untuk terakhir kalinya. Kalaupun nanti kita masih bertemu aku sangat senang, namun kalau tidak, pertemuan ini menjadi kenangan yang indah bagiku. Aku ingin semalaman memelukmu. Aku sudah mencari alasan untuk pergi selama sehari semalam. Kalaupun orang atau bahkan Pak Edi tahu aku sudah siap dengan segala resikonya," katanya.

Ia mengajakku untuk menginap di sebuah hotel di Ancol. Rupanya ia sudah memesan kamar khusus. Setelah kami masuk ke dalam kamar, maka aku menjadi sangat terkejut melihat suasana kamar. Sebuah kamar dengan pandangan ke laut, sebuah ranjang bundar dengan bed cover merah muda dan langit-langit kamar yang dilapisi cermin. Kupikir ia mengeluarkan uang cukup banyak untuk kencan terakhir ini.

Ketika aku masuk ke kamar mandi, Hanny masih merapikan ranjang. Entah apalagi yang diperbuatnya. Baru pada saat kembali ke dalam kamar aku merasakan suatu perasaan yang very very excited. Kucium harum bunga melati dan kulihat ia sedang menaburi ranjang dengan bunga melati.

Kupeluk ia dari belakang dan kuusap pinggangnya. Kurapatkan tubuhku ke tubuhnya sehingga kejantananku menekan belahan pantatnya. Ia mengenakan baju panjang warna krem dengan ritlsuiting di depan dada sampai sebatas perut. Celana panjangnya berwarna hitam dengan sepatu hak tinggi di bawah telapak kakinya.

Kubawa ia ke jendela sambil melihat Teluk Jakarta di waktu siang menjelang sore. Kucium tengkuknya dan ia menarik napas panjang.

"Hhmmh.. Anto".

Ia membalikkan badannya. Mukanya sedikit mendongak, bibirnya yang merah setengah terbuka dan semakin mendekat ke bibirku. Kami berciuman dengan lembut namun penuh gairah terpendam. Ia merogoh kantung celananya dan mengambil sebutir pil, dan menyuruhku untuk meminumnya.

"To ini diminum dulu agar kamu bisa memuaskanku sampai besok pagi".

Aku menolaknya. Kupikir badanku saat ini dalam kondisi fit. Kalau untuk tiga atau empat pendakian sampai esok pagi rasanya masih mampu. Kalau ia ingin lebih, biarlah aku menunda kepuasanku dan kupuaskan ia terlebih dahulu sampai ia menyerah.

"Nggak usah Han, kalau kamu ingin lebih aku akan menunda orgasmeku dan memuaskanmu dahulu".

Kutarik ritsluiting baju di depan dadanya dengan gigiku dan kemudian tanganku melanjutkan untuk membukanya. Dadanya yang terbuka berwarna putih mulus terlihat kontras dengan bra berwarna hitam yang masih menutup payudaranya. Kucium bahunya, kumainkan tali bra-nya. Ia memelukku dan mengusapkan pipinya di kepalaku. Mulutnya menjilati lubang telingaku dan membisikkan kata-kata penuh gairah.

"Ouhh Anto.. Malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang. Kita akan menikmatinya detik demi detik.. Ouhh!"

Kucium dan kugigit bagian dada di antara dua gundukan daging payudaranya. Kulitnya memerah karena bekas gigitanku tadi. Ia tidak mencegahku untuk mencupangnya, bahkan ia memintaku untuk melakukannya lagi.

"Anto.. Berikan lagi gigitan semutmu.. Aoouhh!"

Kubuka bajunya kemudian bajuku sendiri dengan posisi tetap berciuman dan berpelukan. Kudorong tubuhnya ke ranjang dan kutindih tubuhnya. Bibirku menyusuri bahunya melepas tali bra-nya lewat tangannya bergantian kanan kiri, kubiarkan bra-nya masih menutup dadanya karena pengait dipunggungnya belum kubuka. Kembali bahunya yang sudah terbuka kucium dan kugigit sampai memerah.

Aku bergerak memutar sehingga berada di belakangnya. Kulepas pengait bra-nya, dan kutarik dengan gigitanku. Kini dadanya terbuka polos. Dari belakangnya, tanganku meremas pantatnya dan menciumi punggungnya yang putih. Tanganku meremas buah dadanya yang kencang. Kuciumi leher dan belakang telinganya, kemudian kugesekkan pipi kananku ke pipi kirinya. Sambil kucium punggungnya kini tanganku melepas celananya dan celana dalamnya sekaligus, tapi kubiarkan sepatu hak tingginya masih melekat di tumitnya. Tak lama celana dan celana dalamkupun sudah melayang. Aku tetap menciuminya sambil berbaring miring di belakangnya. Kugigit punggungnya dan terus menyusuri sekujur punggungnya ke bawah. Tanganku mengusap pantat dan kugigit pelan. Hanny menggelinjang.

Ia berbalik dengan posisi dadanya di depan mukaku. Putingnya yang berwarna coklat kemerahan digesekkannya di ujung hidungku dan segera kutangkap dengan bibirku. Mulutku bergerak ke bawah perutnya, ia membuka pahanya agar memudahkan aksiku. Aku hanya menggesekkan hidungku ke bibir vaginanya. Aku tidak ingin merangsangnya dengan mulutku. Kepalaku bergerak ke atas dan menciumi ketiaknya yang terbuka, karena tangannya berada di atas kepala sambil meremas bantal.

Kami berguling sedikit dan sebentar kemudian ia sudah berada di atasku. Bibirnya lincah menyusuri wajah, bibir dan leherku. Hanny mendorong lidahnya jauh ke dalam mulutku, kemudian menggelitik dan memilin lidahku. Kubiarkan Hanny yang mengambil inisiatif menyerang. Sesekali lidahku yang membalas mendorong lidahnya. Tanganku meremas-remas payudaranya.

"Auhh, Ayolah Anto.. Terus," ia merintih pelan.

Kemaluanku mulai menegang dan mengeras. Kukulum payudaranya semuanya masuk ke dalam mulutku, kuhisap dengan kuat, putingnya kumainkan dengan lidahku. Napasnya memburu dengan cepat. Detak jantung kami semakin cepat meningkat.

"Ayo puaskan aku untuk saat-saat terakhir sayang.. Ahh.. Auuh!" Hanny mendesis ketika ciumanku berpindah turun ke leher dan daun telinganya.

Tangan kiriku mulai menjalar di pangkal pahanya, kumasukkan jari tengahku ke belahan di tengah selangkangannya dan kugesek-gesekkan ke dinding depan vaginanya.

"Ah sayang. Kamu liar dan nakal sekali".

Sementara itu tangan kananku meremas halus buah dadanya. Tangannya tak mau kalah memegang, meremas dan mnegocok kejantananku. Dengan ganas aku menciumi seluruh bagian tubuh yang dapat kujangkau. Beberapa saat kemudian ereksiku sudah mendekati maksimal. Kepalanya berdenyut menantang lawan di depannya.

Jari tengah kiriku kugerakkan lebih cepat dan tubuhnya kemudian meliuk-liuk menahan kenikmatan. Pinggulnya naik dan berputar-putar. Tangan kananku memelintir puting payudara kirinya dan dan mulutku kini menggigit puting kanannya. Sementara jari kiriku tetap mengocok lubang vaginanya. Semakin cepat kocokanku, semakin cepat pula gerakan pantat dan pinggulnya.

Permainan tangan kiriku kuhentikan dan kuarahkan kejantananku untuk memasuki liang vaginanya. Sebentar kemudian dengan mudah aku sudah menembus guanya yang panas. Pinggulku kugerakkan naik turun dan ia mengimbangi dengan memutar pinggulnya dan menaik turunkan pantatnya. Harumnya bunga melati sangat membantuku untuk lebih rileks namun sekaligus juga sangat menimbulkan gairah tersendiri. Kakinya yang masih memakai sepatu hak tingginya menjepit pahaku dan kadang dikangkangkan lebar-lebar. Kuciumi leher dan dadanya. Beberapa kali kugigit sampai meninggalkan bekas kemerahan. Aku akan menghujaninya dengan cupangan pada sekujur tubuhnya.

Tangannya meremas kejantananku dan menggoyangkannya sebentar. Digesekkannya kepala kejantananku pada bibir vaginanya,
kemudian ia menurunkan pantatnya. Kepalaku sudah tertelan dalam vaginanya. Terasa vaginanya berair. Dengan pelan pantatnya bergerak turun sambil memutar-mutar. Kejantananku terasa ngilu dibuatnya.

"Ibu masukin ya. Ayo To..!! Dorong ke atas, tunggu.. Ibu ganjal dulu pantatmu dengan bantal..!!" ia memberi komando.

Diganjalnya pantatku dengan bantal, kuangkat pantatku sedikit untuk memudahkannya mengganjal pantatku dan kemudian pantatnya semakin turun. Aku yang masih hijau mengikuti apa yang dimintanya. Dan perlahan penisku masuk ke dalam lorong hangat yang belum pernah dilewatinya. Aku merasakan penisku dihimpit oleh benda hangat dan basah, sebuah sensasi yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

"Agh.. Auw.. Ooh.. Nikmat sekali rasanya, To.. Goyangkan pinggulmu!!" rintihnya terbata bata.

Kugerakkan pinggulku memutar berlawanan arah dengan gerakan pingulnya. Dibenamkam penisku dalam dalam sampai terasa tidak bisa masuk lebih dalam lagi, dan Ibu Heni menjerit. Tangannya memainkan putingku dan sesekali menjilat dan mengisapnya. Aku menggigit bibir menahan rangsangan. Dia terus menggoyangkan pinggulnya dengan teratur dan makin lama makin cepat.

"Ouchh.. Agh.. Ugh.. Ooo.. Yes..!!" desisnya terdengar berulang-ulang.

Aku mempercepat gerakanku mengimbanginya dan makin cepat lagi sampai akhirnya.

"Bu.. Aku.. Mau keluar nih.. Ouw..!!" memang kurasakan jepitan vaginanya semakin keras dan kuat sampai sampai penisku terasa ngilu, aku terus mempercepat gerakanku, dan mulai merasakan sesuatu terjadi pada tubuhku..

"Aku.. Bu.. Aku," aku memberontak.

Ibu Heni tahu aku mau mencapai puncak, dilepaskannya kemaluanku dari kemaluannya dan kini dikocoknya kemaluanku dengan tangannya yang halus. Beberapa detik kemudian cairan kental menyemprot beberapa kali keluar dari kemaluanku. Mulutnya mendekat ke kejantananku dan menampung sperma yang memancar deras. Beberapa percikan di antaranya sempat lepas dari penjagaan mulutnya.

Kurasakan semprotannya sangat kuat sampai sebagian yang tidak tertampung dalam mulut Ibu Heni membasahi dadaku. Dengan hati-hati Ibu Heni menjilati dan menelan spermaku yang tercecer di tubuhku. Kemudian dengan lembut Ibu Heni mengurut kejantananku sampai akhirnya mengecil. Aku merasa bersalah karena sementara aku sudah mencapai puncak sementara ia belum meraihnya.

"Sorry Bu, aku tidak bisa menahannya," kataku. Namun tatapan matanya menenangkan aku.
"Itu normal. Biasa bagi seorang perjaka. Ronde berikutnya ini aku yakin kamu akan membuatku puas bahkan kewalahan," katanya.
"Ibu kok mau menelan sperma saya?" tanyaku pelan, takut tersinggung. Aku pernah dengar katanya ada wanita setengah baya yang menelan sperma perjaka agar awet muda.
"Kata orang sih mani perjaka bikin awet muda. Aku sih nggak percaya, hanya sekedar ingin melakukan dan menikmatinya saja," jawabnya datar.

Setelah membersihkan diri, kami saling berpelukan dan aku masih menikmati sisa sisa kenikmatan tadi dalam keadaan telanjang bulat, hanya ditutup dengan selimut. Hujan belum lagi berhenti. Situasi seakan mendukung peristiwa sore ini. Hujan mulai reda. Suara titik-titik air masih terdengar di atas genting. Napasku sudah normal dan keringatku sudah mengering. Kepala Ibu Heni masih berada di dadaku, matanya masih terpejam. Aku merenung sejenak, membayangkan apa yang baru saja terjadi.

Ibu Heni kemudian membuka matanya, meregangkan tubuhnya dan menguap.

"Ngantuk aku, jam berapa sekarang?" tanyanya.
Kulihat jam beker di atas meja. "Lima lewat dua puluh," kataku.

Kupeluk dia lagi dan kuhembusi belakang telinganya dengan napasku. Ia menggelengkan kepalanya. Kuremas dadanya dengan lembut.

"Sudahlah To, aku mau istirahat. Kecuali kalau kau bermaksud untuk.."

Tanpa menunggu lagi segera kulumat bibir indahnya. Lipstiknya sudah pudar, namun rona merah masih membayang.

"Hmm.. Kuda arabku rupanya mengajak berpacu lagi..".
"Kok kuda arab?"
"Tubuhmu yang tegap dan dadamu yang berbulu mengingatkanku orang India atau Arab".

Kami berciuman lagi, semakin lama kembali semakin liar seiring dengan nafsu kami yang mulai bangkit lagi. Tanpa terasa selimut yang tadinya menutup tubuh kami sudah tersingkap jatuh ke lantai dan tubuh kami berdua kembali tidak tertutup apa-apa lagi.

Tiba-tiba kedua mata kami beradu pandang. Lama kami berpandangan sambil saling meremas jari tangan. Nafas kami mulai terasa berat dan degup jantung meningkat. Sementara rintik gerimis masih terdengar dari dalam kamar kosku. Kulihat dari lubang ventilasi di luar mulai gelap. Sayup-sayup kudengar suara orang berbicara dari arah kejauhan. Kelihatannya para tetangga sudah mulai pulang dari kerjanya.

Bibir kami saling berpagut, hangat. Kulumat bibir Ibu Heni itu dengan penuh nafsu. Sekali-sekali kugigit bibirnya dan kumainkan lidahku di atas langit-langit mulutnya. Nafsu sudah mengasai kami berdua. Aku tahu itu sebenarnya tidak boleh, tetapi kami tidak bisa lagi untuk menghentikannya. Terlanjur basah, apapun yang terjadi, kataku dalam hati.

Kami semakin tenggelam dalam birahi. Kini leher jenjang Ibu Heni menjadi sasaran berikutnya. Kuciumi dan kujilati sepuasnya. Hampir saja kucupang lehernya itu, kalau tidak ditepis oleh Ibu Heni.

"Jangan To.. Nanti kelihatan", bisiknya.

Kemudian kujilat daun telinganya sambil kubisikkan sesuatu. Ia mengangguk dan tertawa kecil. Kupandangi tubuh indah itu agak lama. Lidahku tahu-tahu sudah memainkan puting payudara yang berwarna coklat muda dan keras itu. Pelan-pelan kaki kanannya ku angkat dan kuletakkan di atas perutku.

Dalam posisi terlentang berdampingan jemari kirikupun memainkan bulu-bulu halus di sekitar vaginanya. Kadang agak kutarik pelan. Jariku kemudian merambat menggesek-gesek lipatan pahanya. Pinggangnya terangkat dan bergerak-gerak tidak beraturan. Kudengar Ibu Heni melenguh-lenguh tanda terangsang.

"Ahh.. Ouuhgh.. Sedaap.. Ssshh.. Nikkmaatt.. Terusskan..".

Kakinya kuturunkan dan dengan penuh nafsu serangan kuteruskan. Lidahku sudah berada di lipatan pahanya, menggantikan jariku tadi. Sejenak aku kembali ragu apakah akan kuteruskan atau tidak. Kudekatkan hidungku ke sela pahanya. Tidak ada bau yang tidak sedap, kalaupun ada sekilas tercium bau segar yang khas seperti bau tubuh seorang wanita.

Akhirnya kuserang bibir vaginanya yang sudah agak basah. Kujilat-jilat sambil sesekali menjepit bagian dalam bibir vaginanya itu dengan kedua bibirku. Dengan sentuhan ringan tanganku sesekali mencolek daging kecil sebesar biji kacang tanah. Rupanya seranganku membuahkan hasil. Ibu Heni bergetar keras dan mulai meracau.

"Hmm.. SShh.. Ngghh.. Akhh. Hmm.. Pintar kamu. Aku juga mau To, berputar.. Berputar".

Aku tidak tahu apa maunya, tapi tangannya kemudian memegang kepalaku, meraih pinggang dan menangkap kakiku dan memutarnya ke arah mukanya. Kuikuti saja kemauannya. Kuanggap aku sedang berguru mempelajari ilmu bercinta.

Kami berbaring berlawanan arah. Aku tengkurap diatas tubuhnya. Selangkanganku berada di atas mulutnya dan sebaliknya sambil kami terus melakukan stimulasi di sekitar paha. Ia langsung melahap penisku sampai habis. Diisap-isap, dikocok-kocok dan dijilati sampai puas. Gantian aku yang menggelinjang hebat.

"Mmmhh.. Srup.. Srup..".

Penisku dihisap-hisap dan dijilati sampai badanku merinding semua. Ia memberi isyarat agar berubah posisi. Kami berguling ke samping dan kini masih tetap dalam posisi kepalaku pada selangkangannya dan sebaliknya, aku sekarang yang berada di bawah.

Rupanya dengan posisi demikian ia lebih mudah menikmati penisku. Akupun demikian, lebih leluasa untuk menjelajahi selangkangannya. Kami saling merintih dan melenguh memberikan respon terhadap rangsangan yang diterima. Ibu Heni menggelinjang penuh kenikmatan ketika kujilat dan kugigit klitorisnya. Tetapi sebaliknya Ibu Henipun semakin gencar menyerang penisku dengan tak kalah hebatnya.

Kami tetap dalam posisi ini sampai beberapa menit. Tiba-tiba ia menghentikan serangannya dan duduk di tepi ranjang. Ditariknya tanganku. Kupeluk dari samping dan kemudian ditariknya badanku sehingga kami jatuh ke karpet di lantai dekat ranjangku. Dipeluknya tubuhku dengan eratnya dan dengan gencar menciumiku, sampai aku kesulitan mengambil napas. Suara kecipak ciuman mulut kami semakin keras. Kami saling sedot, menjilat dan mengusap badan pasangan kami.

Sejenak kemudian ia menghentikan gerakannya. Aku mencoba bangkit dan mengangkatnya kembali ke ranjang. Tapi dia menggigit daun telingaku dan berkata lirih.

"Jangan To.. Jangan. Lebih nikmat di bawah.. Di lantai ini saja".

Aku tidak jadi mengangkatnya dan kembali kurebahkan di atas karpet. Kutindih tubuhnya dan ia mengangkangkan kedua kakinya lebar-lebar. Kucoba untuk menerobos lubang guanya, meleset, kucoba lagi meleset lagi sampai tiga kali. Kepala penisku sudah masuk dan menyentuh bibir vaginanya, tetapi setiap kali kudorong batangnya terlipat dan terlepas lagi, maklum belum pengalaman. Ibu Heni merintih rintih minta agar aku segera memasukkan penisku.

"Asupkeun.. To.. Masukin sekarang!".

Rupanya dia tidak sabar lagi. Ia segera menggenggam batang penisku dan mengarahkan ke vaginanya yang merekah. Begitu seluruh kepala penisku yang besar sudah menerobos masuk ke bibir vaginanya, ia tersentak dan menekan pantatku dengan kedua tangannya.

"Dorong To.. Anto dorong kuat-kuat," desahnya.

Kudorong pantatku dengan kuat sampai semua batang penisku amblas di dalam liang guanya. Ia berteriak agak kuat, kututup dengan tanganku. Aku takut suaranya terdengar sampai ke luar kamar. Ia menggoyangkan kepalanya ke kanan ke kiri dan melakukan gerakan-gerakan tak beraturan. Aku masih diam saja, menunggu aba-aba darinya.

"Gerak To.. Naikkan sedikit dan turunkan lagi. Kocok dalam lubangku," desisnya membimbingku. Kugerakkan badanku mendatar ke arah kepala dan kakinya.
"Bukan.. Bukan begitu, naik turun.. Yaa.. Gerakkan naik tu.. run, seperti mem.. momm.. paahh!"

Kuangkat pantatku sedikit naik dan tangannya kemudian memegang pinggangku untuk membantuku melakukan gerakan memompa. Gesekan kulit penisku dengan dinding vaginanya membuat aku mendesis nikmat. Kucium dadanya dan kugigit sampai merah. Ia sudah tidak peduli lagi dengan aksiku, hanya aku saja yang menjaga agar cupangku tidak sampai pada bagian tubuh di luar baju, kelihatan orang nantinya.

Gelang kakinya mengeluarkan bunyi, crik.. crik.. criik, seirama dengan gerakannya. Semakin cepat gerakannya, maka bunyi crik.. crik.. criik tadi semakin sering terdengar. Terasa indah sekali di telingaku. Dan sampai pertemuan terakhir nantinya dengan Hanny aku sangat senang kalau mendengar bunyi gelang kakinya. Ada suatu gairah yang tersembunyi.

Kini aku sudah bisa menikmati dan melakukan gerakan memompa dengan terkendali. Payudaranya kukulum sampai setengahnya dan putingnya kugigit kecil. Kepalanya tersentak menengadah sehingga lehernya yang jenjang terlihat semakin menggairahkan. Kalau mulutku di payudaranya, maka tanganku mengusap pipi dan lehernya, jika mulutku ada di lehernya maka tanganku meremas payudaranya. Ia mengimbangi dengan menggerakkan pinggulnya memutar sehingga penisku terasa seperti tersedot suatu pusaran arus yang kuat.

Kutambah kecepatan permainanku karena akupun merasa sudah mendekati saat-saat terakhir menggapai puncak. Kurasakan darah mengalir deras ke penisku. Kugoyang, kugenjot dan kugoyang terus. Putaran pinggulnya juga dipercepat. Tubuh kami saling merapat. Kusemburkan spermaku ke dalam vagina Ibu Heni dengan menekan pantatku kuat-kuat sampai menyentuh dinding rahimnya.

Kurasakan dinding rahimnya berdenyut-denyut. Aku mencapai puncak kenikmatan terlebih dulu dan dalam hitungan hanya beberapa detik ketika penisku masih berdenyut, Ibu Henipun kemudian mendapatkan orgasmenya. Hampir saja ia ketinggalan lagi. Kulihat ia akan berteriak dan kusumbat dengan mulutku karena akupun rasanya juga akan berteriak sambil memperketat pelukanku. Penisku terus berdenyut-denyut dan kurasakan dinding vaginanyapun juga berdenyut. Kedua kakinya terangkat ke atas dan bergerak-gerak seperti mendorong udara.

Semenit berikutnya kami berpagut mesra. Hingga akhirnya ia mendorong tubuhku ke samping.

"Apa kataku tadi, hanya sekali diajarin kamu pasti sudah pintar", katanya sambil mencubit lenganku.

Sambil kupondong badannya kami masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan tubuh kami. Di dalam kamar mandi kami masih sempat untuk saling mencubit dan saling menggelitik perut. Sebentar kemudian kami sudah menenakan pakaian kami kembali.

"Bu.. Bu Heni" panggilku.
"Mmhh.." jawabnya manja.
"Kalau hanya kita berdua dan nggak ada orang lain boleh enggak aku memanggilmu dengan nama Hanny tanpa sebutan Ibu? Rasanya lebih enak diucapkan dan didengar," tanyaku.
Ia tersenyum dan mengangguk. "Terserah kamu," katanya.

Bagiku nama Hanny terdengar lebih manis dan mesra. Tasting as sweet as honey!

"Ada satu rahasia yang mau kuungkapkan. Aku sebetulnya sering mengintip setiap kali Ibu menyapu halaman," godaku.
"Ahh.. Kamu nakal.." sungutnya sambil mencubit lenganku keras-keras.

Canda tawa dengan bisikan tertahan berakhir sampai dia berpamitan pulang dan kulihat hujan sudah agak reda dan langit sudah gelap. Sebelum keluar pintu dikecupnya pipi dan bibirku. Aku membalasnya lagi dengan penuh gairah dan dadanya kuremas agak kasar. Ia mendorongku sambil berbisik di telingaku.

"Sudah dulu. Kutunggu kamu lain waktu".

Ia keluar dari kamarku setelah mengintip keluar beberapa saat sampai ia yakin tidak ada orang yang melihatnya keluar dari kamarku. Malam itu aku tidur telanjang dan masih membayangkan Ibu Heni ada di sisiku.

Esoknya aku bangun dan kulihat seperti biasa Ibu Heni menyapu halamannya. Kali ini kubuka kaca nako jendelaku. Ia melihatku dan terus menyapu ke arah kamarku dengan membiarkan leher dasternya tergantung. Kulihat buah dadanya menggantung bebas tanpa ditutupi bra. Kuberikan isyarat dengan gerakan kecupan pada bibirku. Iapun tersenyum dan membalas dengan gerakan yang sama.

E N D

Back to posts
Comments:

Post a comment

Next Page >>
• Kamasutra XXX
• Bollywood X Videos
• Kumpulan Video Artis Hot!!
users online
Day: 12 | All: 960687